Rabu, 08 Februari 2017

Cerita kehidupan sebentar. Iklaniklan dikit! :v

Assalamualaikum. Salam sejahtera

Cerita sedikit
Judulnya : lupa lupa ingat
Anjir😂 pict itu tempat pengumuman me menang lomba (juara 4 sih) tp gpp😆kategori mahasiswa umum tingkat nasional (Blm internasional) seh😅. Lupa link huh😂. Kalo inget bakal dicantumin diblog ini😂.  Lanjut. Cara biar menang. Rileks:v kiw:v. Tentuin tema yang pas sama hati eak:v hati hati amat yes:v akhirnya ditikung juga:v. Btw makasih buat Nardiin nasywa fak.hira, ratudita, bimasakti(bimahabib:v), gopal , eyc. terutama pak Drajat sama pak Hasan duh🤗Makasih banyak😂terhura ni ah😂. Lanjut(lanjutlanjut mulu kapan selesai). Sip sampe disini aja

*blog ini lebih ke ucapan terima kasih si🤔hihi*

Makasih uda baca buat kamu😋iyaaa kamu😋😆

Wassalamualaikum abangnya pulang yay😋. Salam sejahtera lagi☺😊😋

Betapa Hebatnya Dia

Sungguh aku tidak membenci Jihan, adikku satu-satunya. Dari hatiku yang terdalam, sesungguhnya aku sangat mengasihinya. Namun, entah mengapa hingga saat ini aku belum bisa menerima Jihan yang terlahir sebagai adik kandungku.

Jihan terlahir sedikit berbeda dengan anak-anak normal lainnya. Dengan kata lain, ia mempunyai ‘dunianya sendiri’. Nada bicaranya sedikit lambat. Cara kerja otaknya dalam berpikir pun berbeda dengan teman-teman seusianya. Dilihat dari fisiknya, posisi kepala Jihan sedikit miring ke kanan, tidak tegak. Terkadang air liur sesekali jatuh dari mulutnya. Hal inilah yang membuatku belum bisa menerima kehadirannya sejak ia lahir dari rahim Mama.

“Jihan anak yang hebat. Mama bangga padanya,” begitu kata Mama, ketika aku membandingkan Jihan dengan adik Nisa, Riri. Jujur, sampai saat ini aku masih suka membanding-bandingkan Jihan dengan anak normal lainnya, termasuk Riri. Bagaimana tidak, Riri, teman akrab Jihan itu, jauh lebih aktif daripada Jihan. Riri juga mempunyai kegemaran yang sama denganku. Ia senang melukis. Lukisannya bagus untuk anak seusianya.

“Bangga? Apa yang bisa Mama banggakan dari Jihan, Ma? Dia itu berbeda dengan Riri. Dia berbeda dengan anak-anak normal lainnya. Dia ituenggak…” Mama memotong pembicaraanku. Ditadahkannya jari telunjuknya di bibirku. “Ssst.... Jangan keras-keras bicaranya, tidak enak kalau Jihan mendengarnya.”

Sampai saat ini, aku belum bisa melupakan kata-kataku itu. Setelah kupikir-pikir, aku bukanlah kakak yang baik untuk Jihan. Bagaimana tidak, ucapan dari mulutku itu telah menyakiti hati Jihan. Baru kutahu akhir-akhir ini, ternyata Jihan mendengar pembicaraan kami saat itu. Setelah kejadian itu, Jihan lebih sering mengharapkan perhatianku. Menurutku, Jihan ingin menunjukkan kepadaku betapa hebatnya dia. Namun, tetap saja, ia adalah anak yang berbeda.

Tak jarang aku mencacinya di belakang Mama. Hampir setiap hari aku selalu marah pada Jihan. Betapa menjengkelkannya dia. Pernah aku mengurungnya di kamar ketika Mama pergi. Hari itu, perilaku Jihan sangat menyebalkan. Ia mengganggu minggu pagiku yang cerah dengan semua kelakuannya yang aneh. Jihan menawarkanku segelas sirup buatannya. Aku mengangguk saja. Lagipula, aku tengah asyik dengan acara film hari ini. Kubiarkan Jihan membuat sirup sendiri di dapur. Tak lama, Jihan datang dengan dua gelas sirup yang ia janjikan. Namun, bukan segelas sirup segar yang kudapat, melainkan pecahan gelas kaca. Ya, Jihan membawa nampan gelas sirup itu tidak hati-hati. Alhasil, aku harus membersihkan pecahan gelas itu dan mengepel rumah hingga bersih. Menyebalkan.

Suatu hari, aku baru saja pulang dari sekolah. Dengan tubuhku yang lemas, aku mengetuk pintu rumah. Seperti biasa, Jihan membukakan pintu, dan menyambutku dengan teramat manis. “Eh, kakak.. sudah pulang..” bicaranya lambat sekali. Aku membalasnya dengan senyum simpulku. Kemudian, berlalu dari hadapan Jihan.

“Kakak, tunggu…” Lagi-lagi Jihan memanggilku. Aku menarik napas sejenak. Aku berbalik. Menatap Jihan yang tersenyum manis. “Ada apa lagi?”

Jihan tidak menjawab, tetapi tersenyum-senyum kepadaku. Sembari memainkan jari-jarinya, ia memandangku dengan malu-malu. “Kak, Jihan mau diajarin melukis, dong.

Uh! Hari ini saja aku sudah sangat sibuk di sekolah. Tugas sekolahku minggu lalu menumpuk. Aku belum sempat mengerjakannya, karena minggu lalu aku harus menemani Jihan bermain di rumah Nenek. Ini permintaan Mama, kalau saja bukan Mama yang menyuruhku menemani Jihan di rumah Nenek, aku tidak akan mau menemaninya. Lagipula, aku harus berlatih piano, karena dua minggu lagi sekolah akan mengadakan pentas tahunan. Belum lagi, les melukis yang menambah padat jadwalku.

“Tidak bisa, Jihan. Kakak harus menyelasaikan tugas sekolah. Dan, minggu depan, Kakak sudah mulai ujian. Kakak harus belajar dari sekarang,” aku berusaha sabar menanggapi adikku ini. Kulihat raut wajah Jihan yang murung. Dia menunduk mendengar jawabanku. Tak sampai hati aku melihatnya, namun bagaimana lagi, aku benar-benar harus mengerjakan tugasku. “Mintadiajarin Mama saja ya,” Aku mengelus rambut Jihan. Ia tidak menjawab apa-apa dan meninggalkanku begitu saja.

Jadwalku yang padat, memang membuat waktuku dengan Jihan berkurang. Kata Mama, Jihan kesepian. Ia senang jika aku menemaninya walau hanya sebentar. Namun, tetap saja aku memiliki aktivitas sendiri. Aku memang sering mengabaikannya. Aku bukanlah kakak yang baik untuk Jihan. “Setelah Kakak ujian, Kakak akan menyediakan waktu untukmu, Jihan,” aku bergumam sambil mengambil buku tugasku di meja belajar.

Aku masih larut dalam tumpukan buku pelajaranku. Samar-samar kulihat Jihan datang menghampiriku. Tampaknya ia membawa hasil lukisannya. “Kakak, lihat nih, Jihan juga bisa melukis, lho,” Jihan bersemangat sekali. Ia berlari-lari menghampiriku. Dan, yang terjadi setelah itu…. Brak! Lukisan Jihan jatuh tepat di buku yang sedang kupelajari. Lukisan itu benar-benar baru diselesaikannya. Ah, benar-benar menjengkelkan!

“Jihan! Sudah Kakak bilang, jangan ganggu Kakak! Lihat! Apa yang kamu lakukan? Kamu tidak mengerti? Kakak bilang, Kakak mau belajar, jangan diganggu!” Aku marah, karena tulisan di bukuku hampir tidak terbaca. Tumpahan cat warna memenuhi buku itu. “Dasar anak enggak… ah….”

Sejak saat itu, Jihan tidak pernah menggangguku lagi. Ia banyak menghabiskan waktunya di kamar. Entah apa yang dia lakukan di kamar. “Cinta, coba kamu ajak adikmu keluar dari kamar. Sejak kamu berangkat sekolah, ia mengabiskan waktunya di kamar. Mama ajak keluar enggak mau, coba kamu rayu,” Mama menasihati sambil duduk di ranjangku. Aku menanggapinya acuh tak acuh. Ah, Jihan, Jihan dan Jihan…, batinku kesal. Terkadang aku merasa Mama terlalu banyak menaruh perhatian pada Jihan, sehingga waktuku bersama Mama terbuang untuk Jihan.

“Sudahlah, Ma. Paling Jihan sedang tertidur, atau dia asyik dengan hal-hal konyolnya. Dia kan anak yang berbeda, enggak…,” Mama menatapku tajam, memotong pembicaraanku. Sepertinya ada yang salah dari perkataanku tadi. “Berhenti, Cinta! Berhenti mengolok-olok adikmu. Berhenti mengungkit-ungkit kekurangannya. Jihan selalu berniat menolongmu, tapi dengan keterbatasannya, kamu harus mengerti. Ingatlah, berapa kali kamu menyakiti hati lembutnya,” Mama meninggalkan aku sendiri di kamar. Ah, tetap saja perkataan Mama tidak membuat rasa jengkelku pada Jihan, terhapuskan.

Tok.. Tok.. Tok.. Seseorang mengetuk pintu kamarku. Kudengar langkah kakinya menapaki lantai. Segera kubuka pintu kamarku. Tidak enak jika aku tidak membukanya, apalagi kalau yang mengetuk itu Papa atau pun Mama. Ceklek! Bukan sosok manusia yang kutemui, melainkan sebuah surat di depan pintu kamar. Aku meraih surat itu. Kubuka dengan perlahan.

Untuk Kak Cinta tersayang

Kak, Maafkan Jihan ya. Jihan salah karena sudah merusak buku kakak. Jihan tau, kakak marah. Di mata kakak, Jihan selalu salah. Tapi, memang Jihan anak yang membawa sial. Anak yang enggak normal, seperti kata kakak. Kak, sekali lagi maafin Jihan ya. Sebagai permintaan maaf, Jihan mau kakak datang ke taman. Jihan mau tunjukin sesuatu. Jihan tunggu kakak sampai datang ke taman.

Salam manis,

Adik Kak Cinta yang menyebalkan

Entah mengapa hatiku tidak luluh membacanya. Sepucuk surat itu tidak sukses membuatku ingin menemuinya. “Ah, malas sekali aku datang ke taman. Lagipula, kenapa harus di taman sih? Aku sangat mengantuk dan terlalu lelah untuk menemui Jihan,”

Sudah kuduga. Aku tertidur pulas sekali. Dan, sepucuk surat dari Jihan masih di genggamanku. Samar-samar kudengar Mama mengetuk pintu kamarku sembari memanggil namaku. “Masuk saja, Ma. Tidak dikunci kok,” aku menanggapinya.

“Cinta, tolong cari adikmu. Heran, ke taman saja sampai petang. Terlebih di luar hujan deras sekali,” ucap Mama sembari masuk ke kamarku.Dug! Aku jadi teringat surat yang diberikan Jihan. Dia menungguku di taman. Segera kuambil payung milikku, lalu berlari menuju taman dengan tergesa-gesa.

“Jihan! Jihan! Ini Kakak, Jihan,” Aku berteriak memanggil nama Jihan. Mencarinya di sekitar taman perumahan yang luas. “Jihan, kamu dimana?” suaraku semakin menggema mencari Jihan. Tetes air hujan ikut mengiringi perjalananku mencari Jihan, adikku yang manis.

Dari kejauhan kulihat sosok anak yang terbaring di tengah taman. Perasaanku mulai bercampur aduk. Aku merasa sangat bersalah kepada adikku sendiri. Betapa teganya aku mengabaikannya. Mengabaikan semua kebaikannya kepadaku. Oh, Jihan....

“Jihan?” Mataku menatap seorang anak yang terbaring lemah dengan gulungan kertas di genggamannya. Aku tersentak. Sosok itu benar-benar Jihan adikku. Bibirnya pucat sekali. Dia tergeletak lemas di taman dengan hujan yang membasahi tubuh mungilnya. “Jihan, bangun..., ini Kakak…, maafkan Kakak Jihan, maafkan Kakak…,” aku menggerak-gerakkan tubuh Jihan.

Aku belum bisa membayangkan betapa kejamnya aku terhadap adikku sendiri. Aku membuat adikku harus terbaring lemas di rumah sakit dengan jarum infus di tangannya. 

Sekali lagi kulirik Jihan yang belum juga terjaga setelah kejadian kemarin. Aku sangat menyesalinya. Andai saja, aku menuruti permintaanya untuk datang ke taman. Semua tidak akan berakhir seperti ini. Baru kutahu, Jihan memintaku datang ke taman karena ia ingin menunjukkan hasil lukisannya. Dia melukis dua orang anak perempuan yang bergandengan tangan. Anak perempuan yang pertama lebih tinggi dari yang kedua. Di bawah lukisan anak perempuan yang pertama terdapat tulisan ‘Kak Cinta yang cantik’. Dan, gambar anak perempuan yang kedua bertuliskan ‘Jihan yang menyebalkan’. Lukisannya dipulas dengan warna yang indah. Terdapat tulisan ‘Jihan sayang kak Cinta’ di atas lukisan itu. Hampir menangis aku melihat lukisan Jihan. Terlebih saat aku mengetahui, Jihan harus menahan laparnya demi menyelesaikan lukisannya di kamar. Jihan juga merangkai bunga-bunga membentuk tulisan ‘Maafkan Jihan kak Cinta’. Sayangnya, aku menyia-nyiakan usaha adikku itu. Aku telah membuatnya kecewa. Aku bukanlah kakak yang baik untuk Jihan. Rangkaian tulisan dari bunga-bunga itu sedikit hancur terkena hujan kemarin sore. Namun, aku tetap mengabadikannya di kamera handphone-ku. Dan, ketika Jihan tersadar nanti akan kutunjukkan ‘Betapa Hebatnya Dia’. Mama benar, Jihan anak yang hebat. “Jihan, cepatlah tersadar…. Nanti Kak Cinta ajarin Jihan melukis… Kak Cinta sayang Jihan.” [*] 

Wajah Untuk Nayla

Aku  melihat dirinya setiap hari di pojok ruangan itu. Duduk di kursi kayu tua yang menghadap ke jendela kamarnya. Ia  tampak sedih dan raut wajahnya penuh dengan kekecewaan. Mimiknya seakan berkata bahwa ia ingin tidak dilahirkan. Aku bisa memahami perasaannya. Aku bisa merasakan betapa menderitanya dia sejak kejadian itu. Ya, kejadian sembilan tahun lalu,  meninggalkan begitu banyak luka di raga dan jiwanya: Nayla!

*

            Masih menggores jelas di kepalaku memori yang berbekas itu. Memori itu membawa tubuhku kembali ke kejadian sembilan tahun lalu di mana aku dan keluargaku berada di dalam mobil hitam. Malam itu, suamiku yang memegang kendali mobil dan kami merasa sangat bahagia karena bisa menghabiskan waktu bersama-sama di Kebun Raya Cibodas hari itu. Ketika kami hendak pulang menuju rumah kami ketika tiba-tiba ada sebuah truk dari belakang yang menabrak mobil kami. Truk besar yang mengangkut bahan bakar minyak itu tanpa ampun menghantam mobil kecil kami hingga terpental sejauh lima meter dalam kondisi terbakar. Aku merasa beruntung karena dapat keluar dari dalam mobil saat tragedi itu menimpa kami.

Beberapa detik sebelum kejadian itu terjadi, aku sudah terlebih dahulu melepas sabuk pengaman yang mengikatku. Tetapi hal itu tidak terjadi pada suami dan anakku. Mereka terjebak di dalam mobil karena mobil tersebut dalam keadaan terbalik. Entah kenapa di saat yang genting itu aku memilih menyelamatkan putri kecilku, yang kebetulan tidak memakai sabuk pengaman sehingga aku bisa menariknya keluar dari mobil dengan mudah. Sayangnya suamiku tak bisa kuselamatkan karena si jago merah sudah melahap tubuhnya sampai habis.

Hatiku begitu sakit menerima kenyataan bahwa orang yang selama sepuluh tahun telah menemaniku harus pergi meninggalkanku. Aku tidak terima dengan kepergiaannya yang begitu tragis. Beliau tak pantas pulang dengan cara seperti itu. Aku pun tak bisa menyalahkan diriku karena aku harus memilih siapa yang harus aku selamatkan. Tidak mungkin aku bisa menyelamatkan mereka berdua sekaligus. Tapi hatiku cukup terhibur karena putri semata wayangku selamat, walaupun dalam keadaan yang mengenaskan. Tubuh mungilnya hitam gosong, rambutnya rontok, kulitnya terkelupas hampir seluruhnya, dan yang paling membuatku sedih adalah dia tak bisa melihat. Iya, sejak peristiwa itu putri kecilku ini menjadi buta. Aku tak tahu apa dia bisa menerima dirinya ketika tahu bahwa ia sekarang buta. Dan sekarang aku sudah tahu jawabannya.

“Kita sarapan yuk Nay,” ajakku pagi itu. “Ibu masak nasi goreng kesukaanmu lho.”

Nayla mendongakkan kepalanya ke arahku kemudian berdiri dari kursinya. Aku menggandeng tangannya menuju ruang makan. Nayla duduk kemudian makan dalam diam.

“Nay, tiga bulan lagi kamu akan berumur tujuh belas tahun. Bagi anak gadis, umur tujuh belas tahun adalah momen yang istimewa, yang perlu dirayakan. Apa kamu mau ulang tahunmu dirayakan?” tanyaku memecah keheningan.

Nayla hanya menggeleng kemudian melanjutkan makannya kembali.

Aku menghela napas kemudian bertanya lagi. “Kalau begitu apa ada sesuatu yang kamu inginkan?”

Tiba-tiba Nayla berhenti mengunyah. “Ibu sungguh ingin memberikan apa yang aku minta?”

Aku tersenyum mendengar tanggapannya. “Tentu sayang. Apapun yang kamu minta, Ibu akan menyanggupinya.”

Gadis berambut ikal itu tersenyum lebar. “Aku ingin melihat wajahku di usiaku yang ketujuh belas ini.”

Jawaban singkat itu membuat jantungku seakan berhenti berdetak. Aku sungguh terkejut mendengar permintaannya. ‘Apa?? Ia ingin melihat wajahnya? Tapi bagaimana bisa? Bagaimana mungkin? Ia tidak dapat melihat. Sekalipun bisa melihat, wajahnya sudah tidak utuh lagi. Bagaimana aku bisa memenuhi permintaannya?’

“Ibu, kenapa Ibu diam saja?” Nayla memecah lamunanku. “Ibu mau kan memenuhi permintaanku?”

“I..iya Nay. Ibu akan memenuhi permintaanmu. Ibu akan menyanggupinya.”

Tiba-tiba Nayla memeluk tubuhku. Sekali lagi aku dibuatnya terkejut. Selama Sembilan tahun ini, Nayla tidak pernah memelukku. Aku bisa merasakan kebahagiaan dan kehangatan dalam pelukannya itu. Dirinya seakan menemukan secercah harapan. Mungkin hanya permintaan inilah yang sanggup mengembalikan semangat hidupnya.

*

            Sudah seminggu ini aku tidak bisa tidur. Kepalaku terus dibayangi oleh pertanyaan bagaimana mewujudkan permintaan Nayla. Aku sangat ingin mewujudkan permintaan lugunya itu. Selama ini gadisku itu tidak pernah meminta apapun dariku. Permintaannya ini harus aku penuhi tapi bagaimana?

“Dokter, apa tidak ada yang bisa dilakukan untuk menyembuhkan kedua mata putri saya?” tanyaku sore itu di sebuah rumah sakit.

“Maaf Bu Rissa, tetapi kebutaan anak Ibu itu permanen dan tidak bisa disembuhkan.” Sang Dokter menjawab dengan tegas.

Aku menghela napas. Tidak bisa ku ungkapkan perasaanku saat itu. Sedih, bingung, kecewa, marah, semua bercampur aduk. Aku begitu putus asa saat ini. ‘Nak, apa yang harus Ibu lakukan untuk mewujudkan permintaanmu?’

*

            Tidak terasa dua minggu telah lewat. Ulang tahun Nayla terasa semakin dekat. Aku masih berkutik dengan pikiranku sendiri. Keningku terasa hangat. Sepertinya otakku sudah terlalu lelah untuk memikirkan permintaan Nayla.

Siang itu, kota Makassar terasa begitu panas. Matahari memancarkan sinarnya terasa menyengat. Para pejalan kaki melindungi kepala mereka dengan payung. Peluh menetes dengan bebas di dahiku. Aku menyusuri pertokoan di sepanjang jalan. Melewati para pedagang yang duduk di pinggir jalan. Ku tengokkan kepalaku ke kiri dan ke kanan. Mencari inspirasi untuk memenuhi keinginan Nayla.

Tanpa sengaja pandanganku tertuju pada suatu tulisan bewarna kuning cerah, tulisannya “Pelukis Jalanan, terima melukis semua wajah.” Tiba-tiba ada lampu bohlam yang seakan-akan menyala di atas kepalaku.‘Ah, ide yang bagus! Aku minta pelukis jalanan ini saja untuk melukis wajah Nayla.’ gumamku dalam hati.

Ketika aku hendak menghampiri sang pelukis, tiba-tiba aku terpikir sesuatu. ‘Tunggu dulu. Bagaimana aku dapat meminta pelukis ini untuk melukis wajah Nayla kalau wajahnya saja sudah tidak utuh lagi? Mukanya nyaris tak berbentuk, tidak seperti muka manusia pada umumnya.’

Tanpa diperintah, lampu bohlam yang tadinya bersinar terang di atas kepalaku sekarang menjadi padam. ‘Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?’

*

            Di rumah aku mencari album foto Nayla. ‘Muka Nayla pasti tak jauh berbeda dengan fotonya ketika masih kecil.’ Aku membongkar tumpukan buku di lemari kaca, mencari album foto yang sudah lama tak ku sentuh. Foto terakhir yang ku simpan adalah ketika Nayla berusia delapan tahun; delapan tahun sebelum kejadian mengerikan itu. Ia mengenakan dress biru muda sambil memeluk boneka jerapahnya. Di foto itu ia terlihat manis sekali. Sejak peristiwa itu aku tidak pernah melihatnya tersenyum. ‘Nay, kamu cantik sekali di foto ini. Ibu rindu senyum manismu, Nay.’gumamku sedih.

*

            Hari ini aku berencana untuk datang ke tempat pelukis jalanan yang kulalui kemarin tetapi kemudian kuurungkan niatku itu. Aku baru menyadari bahwa aku tidak memikirkan kalau sebuah lukisan tidak dapat diraba dengan tangan. ‘Bagaimana Nayla bisa tahu bentuk wajahnya seperti apa? Bagaimana ia tahu hidungnya mancung atau tidak atau alisnya tebal atau tidak jika hanya melalui sebuah lukisan di atas kanvas? Aku merasa begitu bodoh. Kenapa aku tidak memikirkannya secara matang? Karena lelah aku memutuskan untuk tidak pergi kemana-mana dan menonton televisi.

Aku berulang kali menekan remote televisi, mencari acara yang menarik untuk dilihat. Seketika ibu jariku berhenti di salah satu saluran televisi yang menayangkan gambar wajah seseorang. Wajah tersebut terbuat dari sebuah patung lilin. Baru kali ini aku mendengar dan melihat tentang patung lilin. Ternyata tidak hanya wajah saja, tetapi tubuh seseorang secara keseluruhan dapat dibentuk menjadi sebuah patung lilin yang sangat cantik dan yang begitu menyerupai aslinya.

Kemudian kumelihat sang pembuat patung lilin diwawancarai oleh si pembawa acara. Di saat itulah aku terperanjat. “Lho?? Bukannya itu Vano?” aku berbicara pada diriku sendiri. Aku memincingkan kedua mataku untuk melihat lebih jelas lagi dan saat itulah aku melihat dengan jelas sebuah nama yang tertera di kolom bawah. Nama “Silvano Sebastian” tepampang dengan jelas di layar televisiku. “Ya ampun! Ternyata itu beneran Vano.” Aku berteriak tidak percaya. Aku mendengarkan dengan saksama talk showtersebut dan ternyata galeri seni miliknya terletak tak jauh dari tempat tinggalku. “Waahh, ini kebetulan sekali.” ujarku senang. Aku segera mencatat alamat galeri seni yang terpampang di layar televisi. “Besok aku harus ke sana.”

*****

            “Ya Tuhan, Rissa!” terisak Vano histeris. “Bagaimana kabarmu? Sudah hampir tiga puluh lima tahun kita tidak bertemu. Dari mana kamu tahu aku disini?”

“Hahaha. Vano, Vano. Kamu kan sekarang sudah menjadi orang yang terkenal,” jawabku santai. “Kemarin wajahmu muncul di televisi, bukan?”

“Hahaha. Oh, rupanya kamu melihat acaratalkshow itu. Tidak heran ya kamu bisa ada di sini.”

Kami bercengkerama cukup lama; tertawa lepas sambil bernostalgia ria. Kami membicarakan banyak hal. Mulai dari kenangan sewaktu SD, teman-teman SD kami yang ingin kami temui, guru-guru yang dulu mengajar kami sampai pelajaran yang kami tidak sukai waktu itu. Setelah puas mengobrol dengannya, aku langsung mengutarakan maksud kedatanganku kepadanya.

“Van,” panggilku pelan. “Aku ingin meminta bantuanmu.”

“Minta bantuan apa, Ris?” balasnya sambil tersenyum. “Selama aku bisa bantu, aku akan bantu.”

Aku menarik napas dalam-dalam kemudian balik lagi ke peristiwa sembilan tahun lalu yang kelam. Aku menceritakan semuanya begitu rinci. Vano mendengarkan ucapanku dengan mimik yang serius. Seriap kata yang keluar dari mulutku ditanggapinya dalam diam. Setelah berbicara panjang lebar aku baru bisa menyampaikan keinginan Nayla dan meminta pendapatnya.

Vano masih terdiam. Ia terlihat berpikir keras. Tetapi tidak lama kemudian ia membuka mulutnya. “Apa wajah Nayla mirip denganmu?” tanyanya hati-hati.

“Mirip, sangat mirip.” Jawabku tegas. “Sebelum ia buta, hampir setiap orang yang bertemu dengan kami mengatakan seperti itu. Dari mulai mata, hidung, rambut hingga warna kulit, semuanya meyerupaiku. Aku sampai heran kenapa ia tidak mengambil rupa ayahnya.”

Seketika Vano menyunggingkan senyum yang tidak biasa. “Sempurna! Berarti sekarang yang dibutuhkan hanyalah foto dirimu ketika berusia tujuh belas tahun.” Ia berhenti berbicara sejenak. “Apa kamu masih menyimpan foto ketika kamu berusia tujuh belas tahun?”

Aku berpikir sejenak kemudian aku menjentikkan jariku. “Tentu saja! Waktu itu aku merayakan ulang tahunku yang ketujuh belas dan aku sempat berfoto. Sepertinya ada di album fotoku.”

“Kau harus pastikan foto itu masih tersimpan, Rissa. Karena foto itu akan sangat dibutuhkan untuk membuat patung lilin Nayla.” Vano menasehatiku. “Kembali lagi kesini jika kau sudah mendapatkannya.”

*

            Ketika sampai di rumah, aku langsung menuju ruang tamu dan membuka kembali lemari kaca tersebut. Kuambil semua tumpukkan album foto yang menggunung itu dan membukanya satu per satu, meneliti setiap foto yang tertempel rapi di setiap halamannya. Setelah melewati delapan album foto, akhirnya aku menemukannya. Ya, foto yang sudah menguning itu menunjukkan usianya yang sudah tidak muda lagi. Aku memperhatikan diriku dua puluh delapan tahun yang lalu ketika aku masih berusia tujuh belas tahun. Aku yang masih terlihat segar dan muda dibalut oleh gaun putih sederhana. Sungguh, Nayla begitu mirip denganku.

*

            “Berapa lama patung lilin ini akan selesai?” tanyaku ingin tahu.

“Kalau boleh tahu, ulang tahun Nayla jatuh pada tanggal berapa?” Vano bertanya balik.

“Dua puluh satu september. Jika dihitung berarti dua bulan lagi dari sekarang.”

“Baiklah, aku pastikan kurang dari dua bulan kau sudah dapat melihatnya.”

Aku meraih tangan Vano dengan perasaan gembira. “Terima kasih, Vano.”

*

            Sejak pulang dari galeri seni Vano, hatiku tak pernah murung lagi. Jantungku serasa menari dan hatiku seakan menyanyi. Kepalaku seperti dipenuhi bunga-bunga mawar yang bermekaran. Aku bahagia sekali membayangkan reaksi Nayla nanti ketika melihat patung lilin pemberianku; melihat sebuah wajah yang selama ini ia nantikan. “Sabar ya Nay, tidak lama lagi kau akan melihatnya.”

*

            “Tilililit…tilililit…” suara itu sudah puluhan kali berbunyi. Memekakkan gendang telingaku. Membangunkanku dari tidur lelapku. ‘Siapa sih yang menelpon subuh begini?’Dengan terpaksa kusibakkan selimutku dan ku pakai sandalku. Dengan langkah gontai ku melangkah menuju meja telepon.

“Halo?” ku mengangkat telepon dengan malas.

“Rissa?” tanpa basa-basi si penelpon langsung memanggil namaku.

“Vano??” teriakku kaget. “Kamu kenapa menelpon subuh begini?” kumelirik jam dinding untuk memastikan bahwa ucapanku benar. “Ini masih jam tiga pagi,Van.

“Jam tiga pagi?” Vano menjawab seakan tidak percaya dengan ucapanku.

Aku menghela napas kesal.

“Aduh, maaf banget ya Ris.” Jawabnya terkekeh. “Aku begitu bersemangat untuk memberitahumu bahwa patung lilin Nayla sudah selesai, lebih tepatnya baru selesai.”

Aku melonjak kaget. “Benarkah?”

“Iya, sungguh.” Ia meyakinkanku.

“Aku kesana sekarang.”

*

            Aku terpaku melihat patung lilin Nayla dihadapanku. Patung yang berdiri kokoh membelakangi jendela itu begitu mirip dengan fotoku. Bahkan jika diperhatikan, lebih mirip dengan wajah Nayla. Bisa dibilang bahwa patung tersebut merupakan perpaduan yang sempurna antara wajahku ketika berusia tujuh belas tahun dan wajah Nayla ketika berusia delapan tahun. Yang membuat aku lebih takjub lagi adalah tinggi patung lilin itu sama dengan tinggi badan Nayla. Tanpa berkata-kata lagi, aku langsung meraih tubuh Vano dan memeluknya. Ia terlihat terkejut dan sempat mundur ketika berada dalam dekapanku. Tetapi kemudian ia membalas pelukanku dan tersenyum.

“Vano, kau hebat sekali! Kau luar biasa! Lihat patung lilin buatanmu itu. Oh, wajahnya begitu mirip dengan Nayla.” Aku memuji-muji Vano tanpa henti.

Vano tertawa terbahak-bahak. “Patung ini tidak akan seperti ini tanpa foto dari kamu, Rissa.”

“Tak terasa lima hari lagi Nayla berusia tujuh belas tahun. Waktu berlalu begitu cepat.” ujarku sambil merenung. “Aku sudah tidak sabar untuk membawa Nayla kesini.”

*

            Akhirnya hari yang kutunggu tiba juga. Hari di mana Naylaku akan menjadi sosok yang paling bahagia di dunia ini. Aku menuntunnya masuk ke dalam mobil putih kami kemudian aku membawa mobil itu menuju jalan raya.

“Ibu,” panggil Nayla pelan. “Ibu mau membawa Nayla ke mana?”

“Ke suatu tempat yang sangat penting, Nayla.” jawabku antusias. “Ibu punya sesuatu yang ingin Ibu tunjukkan kepadamu.”

Nayla tersenyum. “Apakah aku akan melihat wajahku?”

“Tentu saja,” jawabku singkat. “Bahkan lebih dari itu.”

Kami menyusuri jalan raya yang luas, melewati pohon-pohon yang tertanam di sepanjang pinggil jalan. Hari itu aku begitu bersemangat. Tidak pernah aku merasa bersemangat seperti ini. Tetapi hari ini beda. Hari ini adalah hari ulang tahun Nayla yang ketujuh belas, hari yang sangat istimewa baginya. Tidak terasa mobil yang kami tumpangi sampai juga ke tempat tujuan. Vano rupanya sudah menanti kedatangan kami.

“Hai Ris, hai Nay.” sapanya ramah.

“Hai Van,” balasku. “Nay, kenalin. Ini teman Ibu. Namanya Om Vano.”

“Hai Om Vano,” sapa Nayla sambil tersenyum.

“Yuk kita masuk.” Ajak Vano.

Kami bertiga masuk ke dalam galeri seni Vano. Lalu masuk ke  satu ruangan  terbuka.

“Nay, apa kamu siap untuk melihat wajahmu?” tanyaku bersemangat.

Nayla mendongakkan kepalanya kemudian menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

Aku memberikan tanda kepada Vano lalu ia mengangkat tirai merah yang menutupi patung lilin tersebut. Lalu aku menuntun Nayla untuk mendekati patung tersebut.

“Nay, selamat ulang tahun ya. Ibu berharap di ulang tahunmu yang ketujuh belas ini kamu bisa menjadi anak yang bahagia.” aku berbicara padanya sambil menangis.

Ia menggandeng tanganku kemudian meraba-raba patung lilin tersebut. Alisnya yang tinggal beberapa helai dinaikkan sedikit dan bibirnya yang bewarna senada dengan kulitnya menyunggingkan senyum.

“Ibu, ternyata selama ini wajahku oval dan daguku lancip. Aku memiliki hidung yang mancung. Oh, dan mataku belo dan dalam, rambutku ikal dan panjang. Oh, Ibu ternyata ada badannya juga?” Nayla terlihat seperti anak kecil yang menemukan hal baru. “Wah, tubuhku ramping dan tanganku kecil sekali ya bu?” Nayla terus berkomentar tanpa henti sambil menjalari seluruh organ patung itu.

Aku terenyuh melihat reaksinya. Tanpa kusadari air mata membasahi pipiku. “Kau menyukainya, Nay?”

Nayla memutar badannya kemudian memeluk tubuhku erat. “Tentu saja, Ibu. Aku sangat menyukainya. Ibu telah mewujudkan keinginanku. Akhirnya Aku bisa melihat wajahku, bahkan bisa melihat seluruh tubuhku. Terima kasih, Bu. Aku gembira sekali.”

Air mataku seketika pecah, berceceran. Aku tak dapat membendungnya lagi. Aku begitu terharu dan gembira melihat putri semata wayangku begitu bahagia. ‘Terima kasih Tuhan, akhirnya aku bisa menemukan kembali kebahagian di hati Nayla. Terima kasih bahwa Engkau bisa mempertemukanku dengan Vano. Dan yang paling penting, terima kasih karena Nayla bisa menemukan wajahnya.’  *